Ketika krisis listrik terjadi, beberapa kelompok masyarakat kembali terpikir untuk membangun pusat listrik tenaga nuklir.
Gagasan ini memunculkan pro dan kontra. Kebanyakan orang yang menolak pembangunan pusat listrik bertenaga nuklir karena takut akan tingkat keamanan dan juga problem limbah nuklir.
Di Indonesia limbah nuklir itu belum ada. Hebatnya, limbah belum ada, keranjang penyimpan limbah nuklir sudah disiapkan oleh Yudi Utomo Imardjoko, sarjana nuklir yang memperoleh gelar doktor dari Iowa State University, Amerika Serikat, dalam usia 32 tahun. Ia menemukan rancangan kontainer untuk menampung limbah nuklir yang tahan puluhan ribu tahun ditanam dalam tanah dengan aman.
“Problem utama pemakaian energi nuklir itu pada soal menyimpan limbah untuk selamanya. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan kontainer adalah harus tahan sampai 10.000 tahun,” kata Yudi yang memimpin Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (PSE UGM), Yogyakarta.
Bersama dengan sarjana lain di seluruh dunia, Yudi berlomba membuat rancangan kontainer yang panjangnya enam meter dan diameter satu meter itu.
Bersama dengan sarjana lain di seluruh dunia, Yudi berlomba membuat rancangan kontainer yang panjangnya enam meter dan diameter satu meter itu.
Rancangan dosen Fakultas Teknik Nuklir UGM itu sudah masuk dalam lembaran Department of Energy Amerika Serikat dan memenuhi kualifikasi yang diminta serta berhak ikut tender pembuatan kontainer itu.
“Tender akan dilakukan tahun 2005. Mereka membutuhkan 12.000 kontainer. Limbah nuklir di AS makin lama makin menumpuk di dalam gudang. Itu tak bisa terus-menerus dijalankan. Itu tak sesuai dengan aturan. Limbah harus disimpan di dalam tanah dengan kontainer yang tahan terhadap segala kerusakan,” tambah pria beristri drg Trina M.Kes ini.
Ia mengajak perusahaan yang mampu mengikuti pemikirannya dengan gagasan yang semakin berkembang berkat bantuan rekan-rekannya. Untuk mengikuti tender di AS, Yudi merangkul Nuclear Assurance Corporation (NAC), sebuah perusahaan asli negara itu. Adapun untuk pembuatan kontainer di Indonesia, ia bekerja sama dengan Boma Bisma Indra (BBI).
Proses penemuannya memakan waktu lama. Rumus desain itu berawal ketika Yudi menjadi mahasiswa S3 di AS. Konsepnya sudah sering dipresentasikan di berbagai forum, tetapi perhitungan yang rinci tidak pernah dibuka.
“Menurut guru besar pembimbing saya, perhitungan yang saya miliki merupakan yang paling bagus. Ia bilang, itu semua untuk you saja dan dipatenkan. Lalu, perhitungan itu saya bawa pulang ke Indonesia dan dimatangkan,” katanya. Pembimbingnya, Profesor Daniel Bullen, adalah staf ahli Bill Clinton (Presiden AS kala itu) untuk bidang nuklir dan berlanjut di era Presiden George W Bush.
Untuk mematangkan rancangan itu, dari pemerintah ia mendapat dana riset unggulan terpadu (RUT) dan kemudian riset unggulan kemitraan (RUK) yang merupakan kerja sama dengan BBI.
Menurut perkiraan Yudi, pada tahun 2003 paten dari AS sudah keluar, sedangkan dari Indonesia keluar tahun depannya karena waktu tunggunya lebih lama.
Ia yakin memenangi tender itu. Kontainer dibuat di Indonesia sehingga harganya murah, Rp 3,5 miliar. “Kalau Amerika butuh 12.000 buah, omzetnya sangat lumayan,” tuturnya.
Sambil menunggu poses paten serta tender di AS, Yudi aktif memimpin PSE, lembaga untuk mencari energi alternatif.
“Di negara-negara maju, orang sudah berpindah dari minyak dan gas ke energi yang renewable. Itu melalui fase-antara yang namanya nuklir. Mereka tidak mau bergantung pada OPEC, tak mau dikendalikan harganya, lalu dikembangkan energi nuklir. Kita sulit pakai nuklir karena acceptance masyarakat yang rendah. Akhirnya PSE memosisikan kita harus mempunyai keunggulan energi karena semua arahnya menuju energi yang terbarukan. Ya sudah, kita langsung saja ke sana,” paparnya.
Setelah melakukan pengkajian, pilihan energi terbarukan jatuh pada energi surya, bukan biomass dan biogas. Matahari merupakan sumber energi terbarukan dengan ketersediaan yang paling gampang.
Di masa depan, PSE mempunyai obsesi untuk mendayagunakan air sebagai energi yang bisa menggantikan bahan bakar minyak. Tuturnya, “Dalam waktu lima tahun lagi, semoga saja kita dapat membuat jumpa pers dengan wartawan dengan materi temuan energi hidrogen itu.”
Untuk menengok keluarga, ia wira-wiri ke Melbourne. Di sana ia bertemu dengan pejabat BP Solar, sebuah divisi dari perusahaan minyak BP, yang memproduksi panel tenaga surya yang mutunya bagus dan harganya kompetitif. Kini PSE selalu memakai panel produk BP.
“Nanti jika setiap tahun sudah mampu memasarkan 10.000 unit sistem listrik tenaga surya, kita akan membuat pabrik sendiri. Bahan bakunya mudah. Wong cuma pasir pantai. Saya yakin pengguna tenaga surya akan makin banyak, pasar di Indonesia makin terbuka luas,” ujar putra mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Prof Dr Imam Bernadib itu.
PSE beberapa bulan lalu telah memberikan pernyataan bahwa krisis kelistrikan sudah di dalam kondisi bencana nasional. Pasokan listrik akan semakin menurun dan kualitasnya akan semakin jelek, sementara rasio elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 50 persen lebih sedikit.
“Salah satu yang dapat dilakukan secara individu adalah menyadarkan bahwa listrik dapat kita upayakan sendiri. Pemasok daya besar, seperti PLN, kita posisikan sebagai salah satu cara pemenuhan kebutuhan listrik, bukan segala-galanya. Artinya, kita pun mengetahui berapa kebutuhan listrik kita dan bagaimana menjaga agar kebutuhan listrik itu dapat dipenuhi terus-menerus sesuai dengan keinginan kita,” tambah Yudi.
Listrik tenaga surya dapat dimanfaatkan di daerah yang sangat terpencil sampai di perkotaan. Kelebihan listrik yang dihasilkan bahkan dapat dijual kepada pihak lain.
“Daya pasokan kita mungkin jumlahnya kecil, namun kalau diupayakan oleh jutaan masyarakat Indonesia, daya yang terkumpul menjadi besar dan signifikan. Krisis kelistrikan yang terjadi sekarang adalah sebuah pelajaran bagi kita semua untuk membangun kesadaran menuju prinsip kemandirian,” tegasnya.
PSE selama enam bulan ini sudah membangun lebih dari 2.000 unit panel sistem listrik bertenaga surya. Dari pelosok desa dan luar Jawa serta perkotaan, dan untuk yang paling besar, mereka akan membangun sistem listrik tenaga surya di Kupang. Luas panel yang akan dijajarkan sama dengan satu lapangan sepak bola, daya yang dihasilkan satu megawatt.
Investasi listrik bertenaga surya bervariasi, dari order Rp 3 juta sampai miliaran rupiah, bergantung pada kemampuan finansial warga masyarakat. Dana yang tertanam itu akan kembali dalam waktu 5-12 tahun bergantung pada pilihan teknologinya.
“Pertumbuhan kebutuhan listrik dengan tenaga surya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi kita. Jadi, kita menumbuhkan kemampuan kita untuk semakin mandiri dalam memenuhi kebutuhan kita sendiri,” demikian paparnya.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungannya, Tinggalkan komentar untuk perbaikan blog ini.
Pilih "Nama/Url" kalau tidak punya akun google