Jakarta, Menjadi relawan ditempat-tempat konflik memang tidak mudah dan memiliki tantangan sendiri, niat untuk saling membantu dan berbagi terkadang terhalang oleh situasi yang buruk, seperti yang terjadi di Myanmar baru-baru ini.
Sabtu malam 25 Juni 2016, suasana di daerah Thei Thamin , sebelah timur Kota Yanggon Myanmar tiba-tiba saja mencengkam, sekelompok orang dari daerah yang berbeda tiba-tiba menyerang permukiman Suku Rohingya.
Tanpa diketahui penyebab aslinya, yang pasti penyerangan itu telah membuat suku Rohingya semakin menderita, rumah-rumah mereka dihancurkan, begitu juga masjid yang menjadi tempat ibadah kaum Muslim Rohingya.
Melihat itu, Andalan Nasional Gerakan Pramuka urusan Pengabdian Masyarakat dan Siaga Bencana Kak Eko Sulistio semakin prihatin dengan kondisi kehidupan yang dihadapi suku Rohingya. Sudah bertahun-tahun lamanya mereka hidup dalam penindasan dan kekerasan.
Kak Eko salah satu relawan kemanusiaan yang sudah merasakan pahit getirnya hidup di daerah-daerah konflik. Usahanya memberikan bantuan paket Ramadhan terpaksa dilakukan secara sembunyi-sembunyi demi keselamatan dan kelancaran kedua belah pihak.
”Sampai saat Ini pekerja-pekerja kemanusiaan kalau membantu mesti sembunyi-sembunyi biar tidak ada iri atau kesenjangan,” ungkap Kak Eko kepada Humas Kwarnas, Selasa (28/6/2016).
Penganiayaan dan perusakan yang dialami oleh suku Rohingya tentu membawa luka yang mendalam bagi mereka yang hidup dalam ketidakpastian dan persamaan hak. Meski tidak ada korban jiwa, namun ancaman membuat mereka takut.
”Saya catat setidaknya ada 60 kepala keluarga kabur dan tinggal di pinggir pinggir kali,
mau balik takut dan trauma,” kata Kak Eko menceritakan kondisi di sana.
Tidak hanya itu, para relawan kemanusiaan dari berbagai negara juga dibatasi ruang geraknya. Aparat keamanan yang seharusnya memberikan kenyamanan dan perlindungan bagi warganya justru terlihat acuh dan berat sebelah, sehingga tidak bisa diharapkan.
“Kita di tempat-tempat tertentu berpakaian muslim tidak boleh mencolok,” tuturnya.
Sampai-sampai Kak Eko menuturkan ada lelucon dari temannya Jamaludin Volunteers relawan warga Malaysia, ia mengatakan berbuat baik di pemukiman suku Rohingya seperti bisnis narkoba, karena harus dilakukan sembunyi-sembunyi dan mendapat berbagai ancaman.
”Pendistribusian bantuan kepada para pengungsi, ketauan pihak keamanan bisa ditangkap, dan bila ketauan pihak radikal atau musuh Muslim kita bisa di aniaya tak perduli kita dari mana,” ungkapnya.
Namun, Kak Eko bersyukur berkat perjuangan dan kerja keras para relawan, bantuan paket sembako untuk warga Rohingya sudah tersalurkan semua dengan aman. Kerja-kerja sosial seperti ini tentu membawa pengalaman dan kesan tersendiri bagi Kak Eko yang konsisten berada di jalannya.
Dari pihak KBRI sudah menghimbau kepada para relawan khususnya dari Indonesia untuk tidak mengunjungi camp-camp pengungsian suku Rohingya. Sebab, sampai saat ini kondisinya masih mencengkam. Dikhawatirkan terjadi apa-apa.
Bercerita tentang suku Rohingya memang bukan suatu hal yang baru, suku ini diperkirakan sudah ada di Myanmar sejak abad ke 7 Masehi yang berasal dari pedagang Arab. Keberadaan mereka sampai saat ini masih dipersoalkan oleh pemerintah Myanmar.
Mereka tidak diakui lagi sebagai warga negara Myanmar, dengan begitu mereka tidak bisa mendapatkan hak-haknya sebagai manusia, yaitu hak kesehatan, hak ekonomi, hak pendidikan, dan hak hidup tenang dan damai di atas persamaan hukum. (HA/Humas Kwarnas).
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungannya, Tinggalkan komentar untuk perbaikan blog ini.
Pilih "Nama/Url" kalau tidak punya akun google