Kebudayaan dan peradaban bahari bangsa Indonesia dimulai
sejak perpindahan penduduk Astronesia ke wilayah Nusantara, hingga mereka
menjadi orang Indonesia. Nenek moyang bangsa
Indonesia bermula dengan
adanya
Migrasi besar-besaran bangsa Proto Melayu dari Asia
Tenggara pada tahun 3.000 SM. Mereka sampai dan menyebar ke seluruh Nusantara.
Pada tahun 300 SM terjadi gelombang migrasi kembali, yaitu datangnya bangsa
Duatro Melayu yang mendesak Proto Melayu. Kedatangan mereka ke Indonesia
dilakukan dengan menyeberangi lautan yang terbentang di antara benua maupun
pulau-pulau di kawasan Asia Tenggara. Bangsa pendatang ini mendiami daerah
pesisir di seluruh Nusantara dan memanfaatkan laut sebagai sumber kehidupan.
Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami, menghayati
arti dan kegunaan laut sebagai sarana untuk menjalin berbagai kepentingan antar
bangsa, seperti perdagangan serta komunikasi antar bangsa. Pada perkembangan
selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan diseluruh Nusantara, karena panggilan
nilai-nilai kebaharian. Kerajaan maritim terbesar adalah Sriwijaya (683 M -
1030 M) dan Majapahit (1293 M - 1478 M). Sebagai maritim yang kuat di Asia
Tenggara, Sriwijaya mendasarkan politiknya pada penguasaan alur pelayaran dan
jalur perdagangan serta menguasai daerah-daerah penting sebagai pangkalan
kekuatan lautnya. Angkatan Laut Sriwijaya ditempatkan di pangkalan-pangkalan
untuk mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh, memungut bea
cukai serta mencegah terjadinya pelanggaran di laut wilayah kekuasaanya.
Kerajaan
Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya memiliki pusat kerajaan didaerah
Tarik, suatu tempat di tepi sungai Brantas dekat pelabuhan Canggu laut
(sekarang sebelah Timur kota Mojokerto). Kemahsyuran yang dimiliki oleh
Majapahit telah mengundang kerajaan-kerajaan lain untuk tunduk dan bergabung
dengannya. Politik Majapahit yang ingin mempersatukan Nusantara, mensyaratkan
armada laut yang tangguh. Hal ini dikuatkan oleh Sumpah Palapa Maha Patih
Gajahmada yang ingin mempersatukan Nusantara. Hal ini, tentu saja membutuhkan
armada laut yang tangguh baik untuk berperang maupun berdagang. Kemaharajaan
Majapahit telah mengilhami nilai-nilai luhur dalam bentuk sastra dan budaya
sebagai bangsa bahari.
Sriwijaya
dan Majapahit mampu membangun kebesarannya karena ketajaman visi maritimnya
serta kesadaran terhadap kondisi geografi wilayah kerajaan. Kesadaraan tersebut
tentu saja tidak muncul begitu saja tetapi lebih disebabkan oleh karakter
sebagai insan bahari yang kuat dengan seperangkat nilai sosial yang senantiasa
berkembang.
Kemampuan mengelola laut dan sumber daya terkandung di
dalamnya serta penggunaan laut sebagai sarana untuk mewujudkan berbagai
kepentingan dapat dilakukan karena political will yang kuat pemimpinnya. Bahkan
Sriwijaya dan Majapahit telah menjadi center of excellent kemaritiman,
kebudayaan dan agama di Asia Tenggara.
Keruntuhan bangsa bahari.
Setelah
jaman Sriwijaya dan Majapahit, kejayaan bahari Indonesia mengalami penurunan,
terlebih setelah masuknya VOC ke Indonesia (1602 M - 1798 M). Salah satu
peristiwa bersejarah hilangnya kejayaan tersebut adalah Perjanjian Giyanti yang
dilakukan oleh Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta. Kedua Raja
keturunan Mataram tersebut menyerahkan perdagangan laut hasil bumi dan rempah-rempah
dari wilayahnya kepada Belanda. Keputusan kedua Raja yang telah dikendalikan
oleh Belanda tersebut memasung kemampun bahari bangsa Indonesia. Akibatnya
terjadi proses penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa serta perubahan
nilai-nilai sosial dalam masyarakat Indonesia yang semula bercirikan maritim
menjadi agraris.
Kebangkitan bangsa bahari.
Pada tahun 1957, Indonesia mendeklarasikan Wawasan
Nusantara, dalam Deklarasi Djoeanda
sebagai wawasan kebangsaan yang mengetengahkan azas Negara Nusantara (Archipelagic
State). Wawasan Nusantara memandang laut
yang terletak di antara pulau-pulau yang merupakan satu kebulatan wilayah yang
tidak mungkin dipisahkan. Untuk memperoleh pengakuan dari dunia internasional, maka
telah dilaksanakan perjuangan secara terus menerus di forum internasional. Pada
tahun 1982 gagasan negara nusantara berhasil dan diakui dalam Konvensi PBB
tentang Hukum Laut Internasional 1982
(UNCLOS ’82) serta berlaku sebagai hukum positif sejak 16 Nopember 1994.
Pada
tahun 1996 Presiden Republik Indonesia BJ. Habibie mendekla-rasikan visi
pembangunan kelautan bangsa Indonesia dalam Deklarasi Bunaken. Inti dari deklarasi tersebut adalah merupakan
peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan kesatuan serta
pembangunan bangsa Indonesia.
Bertolak dari terbitnya deklarasi Djoeanda, pada tahun
1999 Presiden Republik Indonesia KH Abdulrahman Wahid mencanangkan bahwa
tanggal 13 Desember sebagai Hari
Nusantara. Komitmen pembangunan pemerintah di bidang maritim, semakin
menampakkan harapan yang cerah dengan telah dibentuknya Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP). Sejarah bahari Indonesia telah mewariskan pengalaman,
cita-cita dan perjuangan para bahariwan dalam mewujudkan kemakmuran,
kebahagiaan serta kejayaan bangsa.
Kemudian pada 11 Desember 2001, Presiden Republik
Indonesia Megawati Soekarnoputri menerbitkan Surat Keputusan Presiden no 126
tahun 2001, bahwa tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara dan resmi sebagai
hari perayaan nasional. Tanggal 27 Desember 2001 Presiden Republik Indonesia
Megawati Soekarnoputri mengeluarkan pernyataan politiknya untuk mendorong
segenap anak bangsa untuk membangun kekuatan maritim, dan pernyataan tersebut
dikenal sebagai Seruan Sunda Kelapa.
Visi Maritim bangsa
Indonesia : “ Laut adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, perekat
persatuan dan kesatuan bangsa serta tumpuan masa depan kesejahteraan bersama ”.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungannya, Tinggalkan komentar untuk perbaikan blog ini.
Pilih "Nama/Url" kalau tidak punya akun google