Responsive Ads Here

Thursday, March 28, 2013

Latar belakang sejarah kejayaan bangsa bahari


Kebudayaan dan peradaban bahari bangsa Indonesia dimulai sejak perpindahan penduduk Astronesia ke wilayah Nusantara, hingga mereka menjadi orang  Indonesia. Nenek moyang  bangsa  Indonesia  bermula  dengan  adanya

Migrasi besar-besaran bangsa Proto Melayu dari Asia Tenggara pada tahun 3.000 SM. Mereka sampai dan menyebar ke seluruh Nusantara. Pada tahun 300 SM terjadi gelombang migrasi kembali, yaitu datangnya bangsa Duatro Melayu yang mendesak Proto Melayu. Kedatangan mereka ke Indonesia dilakukan dengan menyeberangi lautan yang terbentang di antara benua maupun pulau-pulau di kawasan Asia Tenggara. Bangsa pendatang ini mendiami daerah pesisir di seluruh Nusantara dan memanfaatkan laut sebagai sumber kehidupan.

Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami, menghayati arti dan kegunaan laut sebagai sarana untuk menjalin berbagai kepentingan antar bangsa, seperti perdagangan serta komunikasi antar bangsa. Pada perkembangan selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan diseluruh Nusantara, karena panggilan nilai-nilai kebaharian. Kerajaan maritim terbesar adalah Sriwijaya (683 M - 1030 M) dan Majapahit (1293 M - 1478 M). Sebagai maritim yang kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya mendasarkan politiknya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai daerah-daerah penting sebagai pangkalan kekuatan lautnya. Angkatan Laut Sriwijaya ditempatkan di pangkalan-pangkalan untuk mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh, memungut bea cukai serta mencegah terjadinya pelanggaran di laut wilayah kekuasaanya.

            Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya memiliki pusat kerajaan didaerah Tarik, suatu tempat di tepi sungai Brantas dekat pelabuhan Canggu laut (sekarang sebelah Timur kota Mojokerto). Kemahsyuran yang dimiliki oleh Majapahit telah mengundang kerajaan-kerajaan lain untuk tunduk dan bergabung dengannya. Politik Majapahit yang ingin mempersatukan Nusantara, mensyaratkan armada laut yang tangguh. Hal ini dikuatkan oleh Sumpah Palapa Maha Patih Gajahmada yang ingin mempersatukan Nusantara. Hal ini, tentu saja membutuhkan armada laut yang tangguh baik untuk berperang maupun berdagang. Kemaharajaan Majapahit telah mengilhami nilai-nilai luhur dalam bentuk sastra dan budaya sebagai bangsa bahari.

            Sriwijaya dan Majapahit mampu membangun kebesarannya karena ketajaman visi maritimnya serta kesadaran terhadap kondisi geografi wilayah kerajaan. Kesadaraan tersebut tentu saja tidak muncul begitu saja tetapi lebih disebabkan oleh karakter sebagai insan bahari yang kuat dengan seperangkat nilai sosial yang senantiasa berkembang.

Kemampuan mengelola laut dan sumber daya terkandung di dalamnya serta penggunaan laut sebagai sarana untuk mewujudkan berbagai kepentingan dapat dilakukan karena political will yang kuat pemimpinnya. Bahkan Sriwijaya dan Majapahit telah menjadi center of excellent kemaritiman, kebudayaan dan agama di Asia Tenggara.

Keruntuhan bangsa bahari.
            Setelah jaman Sriwijaya dan Majapahit, kejayaan bahari Indonesia mengalami penurunan, terlebih setelah masuknya VOC ke Indonesia (1602 M - 1798 M). Salah satu peristiwa bersejarah hilangnya kejayaan tersebut adalah Perjanjian Giyanti yang dilakukan oleh Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta. Kedua Raja keturunan Mataram tersebut menyerahkan perdagangan laut hasil bumi dan rempah-rempah dari wilayahnya kepada Belanda. Keputusan kedua Raja yang telah dikendalikan oleh Belanda tersebut memasung kemampun bahari bangsa Indonesia. Akibatnya terjadi proses penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa serta perubahan nilai-nilai sosial dalam masyarakat Indonesia yang semula bercirikan maritim menjadi agraris.

Kebangkitan bangsa bahari.
Pada tahun 1957, Indonesia mendeklarasikan Wawasan Nusantara, dalam Deklarasi Djoeanda sebagai wawasan kebangsaan yang mengetengahkan azas Negara Nusantara (Archipelagic State).  Wawasan Nusantara memandang laut yang terletak di antara pulau-pulau yang merupakan satu kebulatan wilayah yang tidak mungkin dipisahkan. Untuk memperoleh pengakuan dari dunia internasional, maka telah dilaksanakan perjuangan secara terus menerus di forum internasional. Pada tahun 1982 gagasan negara nusantara berhasil dan diakui dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut  Internasional 1982 (UNCLOS ’82) serta berlaku sebagai hukum positif sejak 16 Nopember 1994.

            Pada tahun 1996 Presiden Republik Indonesia BJ. Habibie mendekla-rasikan visi pembangunan kelautan bangsa Indonesia dalam Deklarasi Bunaken. Inti dari deklarasi tersebut adalah merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan kesatuan serta pembangunan bangsa Indonesia.

Bertolak dari terbitnya deklarasi Djoeanda, pada tahun 1999 Presiden Republik Indonesia KH Abdulrahman Wahid mencanangkan bahwa tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Komitmen pembangunan pemerintah di bidang maritim, semakin menampakkan harapan yang cerah dengan telah dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Sejarah bahari Indonesia telah mewariskan pengalaman, cita-cita dan perjuangan para bahariwan dalam mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan serta kejayaan bangsa.

Kemudian pada 11 Desember 2001, Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri menerbitkan Surat Keputusan Presiden no 126 tahun 2001, bahwa tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara dan resmi sebagai hari perayaan nasional. Tanggal 27 Desember 2001 Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri mengeluarkan pernyataan politiknya untuk mendorong segenap anak bangsa untuk membangun kekuatan maritim, dan pernyataan tersebut dikenal sebagai  Seruan Sunda Kelapa.

Visi Maritim bangsa Indonesia : “ Laut adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, perekat persatuan dan kesatuan bangsa serta tumpuan masa depan kesejahteraan bersama ”.




No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya, Tinggalkan komentar untuk perbaikan blog ini.
Pilih "Nama/Url" kalau tidak punya akun google